Jumat, 22 Juni 2012

Bajaj Pulsar 200NS Diluncurkan Akhir Tahun Ini

BAJAJ Pulsar menegaskan bila mereka akan memasukkan generasi baru Bajaj Pulsar 200NS ke Indonesia. Motor ini dikabarkan akan diluncurkan pada akhir tahun 2012.
Dikatakan oleh Vice President Director PT Bajaj Auto Indonesia Dinesh Kulkarni bahwa motor ini baru akan mulai diproduksi di India pada bulan April mendatang.

"Info terakhir yang saya dapat, produksi motor ini baru bulan April dan 4 bulan pertama diproduksi untuk memenuhi kebutuhan domestik India," paparnya di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (27/3). "Kemungkinan kalau ingin kita masukin baru di kuartal terakhir antara Oktober sampai Desember," paparnya lagi.
Generasi motor terbaru Pulsar ini akan mengusung teknologi mereka yang termutakhir. Tidak ada lagi memakai 2 busi, tetapi 3 busi yang bertugas memercikan api pembakaran yang diklaim bakal lebih sempurna.

Bajaj Auto sebelumnya telah memperkenalkan teknologi 4 valve yang menggunakan 3 buah busi, yang dianut motor terbaru mereka, Pulsar 200 NS. Pabrikan India sesumbar setting baru motor ini, pembakaran motor akan lebih sempurna yang pada akhirnya berujung pada peningkatan performa dan efisiensi bahan bakar.
Platform yang digunakan pada Pulsar 200 NS ini nantinya juga bakal digunakan di Pulsar-Pulsar lainya.
Busi utama akan berada di atas dan dua busi lainnya akan berada di samping ruang bakar yang dikatakan akan membuat peningkatan 15 persen di sektor pembakaran.

Hasilnya, Bajaj mengklaim kalau rata-rata digunakan pada kecepatan 55 km/jam maka tingkat efisiensi yang dapat dicapai adalah 58 km/liter. Tenaga pun akan meningkat menjadi 23,5 bhp yang dapat digapai di putaran 9.500 rpm melalui transmisi 6-speed. Bandingkan dengan Pulsar 220 yang berkapasitas mesin lebih besar tapi hanya bertenaga 21 bhp. Torsi motor ini mencapai 18,3 Nm pada 8.000 rpm dengan bobot motor 145 kg dan kapasitas tangki 12 liter.

Dengan kemampuan seperti itu, motor yang menjadi motor sastu silinder pertama dengan 3 busi ini diklaim mampu berlari dari diam sampai 100 km/jam hanya dalam waktu 3,8 detik dan melaju hingga kecepatan 136 km/jam. Pelek terbaru juga akan dipasang di motor ini bersama dengan rem berukuran 280 mm di depan dan 230 mm di belakang. Suspensi tunggal alias monoshock akan ada di bagian belakang motor bersama knalpot yang ditempatkan di bagian tengah.
Rencananya di India motor ini akan dibanderol dengan harga sekitar 1 lakh rupee atau sekitar Rp 18 jutaan.



Kisah Sipitung

Kisah Si Pitung sangat melegenda bagi masyarakat Indonesia terutama bagi masyarakat Betawi. Bagi orang Betawi, Pitung adalah pahlawan. Konon, Ia hidup di awal abad 19. Si Pitung merupakan nama panggilan asal kata dari Bahasa Jawa Pituan Pitulung (Kelompok Tujuh), kemudian nama panggilan ini menjadi Pitung. Nama asli Si Pitung sendiri adalah Salihun (Salihoen) ada juga yang bilang Raden Moh. Ali, warga Rawabelong, dengan ayahnya, Piun, asal Cirebon dan ibunya, Pinah, dari Betawi. Si Pitung menjadi terkenal bukan hanya karena keberaniannya melawan Belanda, tapi juga kepeduliannya terhadap nasib rakyat yang tertindas oleh kekuasaan Belanda dan tuan tanah.

Saat itu, kehidupan sosial masyarakat sangat tidak manusiawi. Para tuan tanah tak segan-segan meminta pajak yang tinggi kepada para petani. Bila para petani tidak bisa segera membayar pajak sesuai dengan jatuhnya tempo, maka para begundal tuan tanah itu akan memaksa para petani tersebut dengan cara-cara kasar. Nah dalam situasi seperti itu, munculah Si Pitung. Hal tersebut diungkapkan Alwi Shahab, penulis novel Pitung, Robin Hood Betawi.

Dalam perjalanannya, Si Pitung tidak hanya melindungi rakyat dari para begundal (pendekar bayaran) para tuan tanah, tapi juga merampok harta kekayaan mereka, kemudian membagikannya kepada rakyat kecil. Terhadap sepak terjang Si Pitung ini, tidak hanya tuan tanah yang tidak tenang, tapi juga Belanda. Melihat Jakarta tidak aman. Akhirnya Belanda menurunkan Schout van Hinne, kepala kepolisian untuk menangkap Si Pitung.

Sebagai seorang buronan, Pitung tidak memiliki tempat menetap yang pasti. Konon, ia pernah tinggal di Kota Depok, tepatnya di salah satu gedung milik bangsawan asal Belanda, Cornelis Chastelein. Warga Depok lebih sering menyebut gedung tersebut sebagai rumah tua Pondok Cina, karena letaknya yang berada di Kelurahan Pondok Cina, Kecamatan Beji.

Sayangnya, bangunan tua yang berada di Jalan Margonda Raya tersebut sudah tidak ada. Gedung yang menjadi saksi sejarah Kota Depok tersebut sudah terkepung oleh sebuah mal supermegah bernama Margonda City. Memang, projek pembangunan Margonda City tidak sampai menggusur gedung tersebut. Meski begitu, fungsi bangunan sudah berubah menjadi sebuah kafe.

Cerita lainnya, Pitung juga pernah tinggal di Kampung Marunda, baik di Masjid Al Alam atau di rumah joglo kampung Marundo Pulo, Cilincing, Jakarta Utara. Banyak versi tentang hubungan Pitung dengan masjid Al Alam. Ada yang mengatakan bahwa Masjid Al Alam merupakan tempat bermain Pitung, belajar agama, belajar pukulan sampai sembunyi dari opas dan kompeni. Tapi ada juga yang mengatakan bila Pitung hanya singgah sebentar di Masjid Al Alam untuk mendirikan sholat. Dua pendapat ini menjadi tidak kuat karena tidak ada bukti fisik yang bisa menjelaskan keberadaan Pitung di Masjid tersebut, kecuali pemahaman masyarakat sekitar bahwa Pitung pernah berada di Masjid itu.

Selain Masjid Al Alam, pitung juga pernah menjejakkan kakinya di kampung Marunda Pulo, tepatnya di rumah berbentuk joglo yang terletak sekira 250 m di sebelah selatan masjid Al Alam. Seperti halnya dengan Masjid Al Alam, beragam pendapat menjelaskan hubungan Pitung dengan rumah joglo ini. Ada yang mengatakan bahwa rumah itu milik Pitung, tapi juga ada pendapat yang menjelaskan bahwa rumah itu milik
orang kaya yang pernah disatroni Pitung dan para pengikutnya. Pihak museum mengklaim itu milik si Pitung. Namun menurut M Sambo bin Ishak, wakil ketua Pengurus Masjid Al Alam, padahal sesungguhnya rumah itu milik orang kaya Marunda dan pernah digarong sama Pitung.tergenang air laut hingga 50 cm. Cat bangunan rumah yang merah darah sudah memudar. H Atit Fauzi, tokoh Marunda Pulo, pernah mengatakan bahwa rumah Pitung itu bukan bangunan aslinya, kecuali lokasi tempat rumah itu dibangun. Rumah aslinya dahulu milik juragan nelayan sero, yakni Haji Syafiuddin.

Tiga Versi Cerita Si Pitung

Pada dasarnya ada tiga versi yang tersebar di masyarakat mengenai si Pitung yaitu versi Indonesia, Belanda, dan Cina. Masing-masing penutur versi cerita tersebut memiliki versi yang berbeda dari cerita si Pitung itu sendiri. Apakah Si Pitung sebagai seorang pahlawan berdasasrkan versi cerita Indonesia, dan sebagai seorang penjahat jika dilihat dari versi Belanda. Cerita Si Pitung ini dituturkan oleh masyarakat Indonesia hingga saat ini dan menjadi bagian lengenda serta warisan budaya Betawi khususnya dan Indonesia umumnya. Kisah Legenda Si Pitung ini kadang-kadang dituturkan menjadi rancak (sejenis balada), sair, atau cerita Lenong. Menurut versi Koesasi (1992), Si Pitung di identikan dengan tokoh Betawi yang membumi, muslim yang shaleh, dan menjadi contoh suatu keadilan sosial.

Menurut versi van Till(1996) Si Pitung merupakan seorang kriminal, yang diawali ketika Si Pitung menjual kambing di pasar Tanah Abang, kemudian dicuri oleh para “centeng” (Si Gomar menurut versi Film Si Pitung (1970) tuan tanah. Sebagai tindakan balasan kemudian Pitung melakukan pencurian di tempat Haji Saipudin seorang kaya Juragan Tuan Tanah di Marunda pada waktu itu (Rumah Haji Saipudin sekarang menjadi tempat Musium Si Pitung). Legenda yang di kisahkan dalam film Si Pitung, Si Pitung dan Kawanan-nya menggunakan cara yang “pintar” dengan menyamar sebagai pegawai Pemerintah Belanda (Di Versi Film Si Pitung, Pitung sebagai "Demang Mester Cornelis (Wilayah Mester Cornelis saat ini disebut sebagai Jatinegara merupakan bagian dari Kota Jakarta Timur") dan Dji-ih sebagai “Opas”). Kemudian melakukan penipuan dengan memberikan surat kepada Haji Saipudin agar Haji Saipudin menyimpan uang di tempat Demang Mester Cornelis. Pitung menyatakan bahwa uang tersebut dalam pengawasan pencurian. Haji Saipudin setuju kemudian Pitung dan Kelompoknya membawa lari uang tersebut.

Akibat dari hal ini kemudian Si Pitung dan Kawanannya menjadi buronan “kompenie”. Hal ini menarik perhatian komisaris polisi yang bernama Heyne (“Schout Heyne, atau Heijna, Scothena, atau “Tuan Sekotena”). Secara resmi menurut van Till (1996) nama petugas polisi pada saat ini bernama A.W.V. Hinne yang pernah bertugas di Batavia dari tahun 1888 - 1912. (Menurut catatan kepolisis Belanda. Hinne memulai karier sebagai pegawai klerikal Pemerintah Belnda, kemudian menjadi Deputi Kehutanan, dan Polisi di beragam tempat di Indonesia. Hinne menderita sakit yang serius, sesudah dikembalikan ke Eropa untuk penyembuhan. Pada akhir tahun 1880 Hinne menjadi seorang Perwira Polisi di Batavia (Stambock van Burgerlijke Ambtenaren in Nederlandsch-Indie en Gouvernements Marine, ARA (Aigemeen Rijksarchief), Den Haag, register T.f. 274). Hinne segera memburu Si Pitung dengan membabi buta. Akhirnya dia dapat menangkap Pitung, tetapi kemudian Si Pitung berhasil melarikan diri dari tahanan ka-Demangan Meester Cornelis. Van Till (1996) menyatakan bahwa Si Pitung mampu bebas dengan kekuatan “magis” tetapi menurut versi Film Si Pitung (1970), Si Pitung lepas dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam.

Kemudian Hinne menekan Haji Naipin (Guru Si Pitung) untuk membuka rahasia kesaktian si Pitung berupa “jimat” sehingga Hinne dapat menangkap Si Pitung secara lebih cepat. Versi lainya menyatakan bahwa Pitung dikhianati oleh temannya sendiri (kecuali Dji-ih) walaupun versi ini diiragukan kebenarannya. Tetapi menurut Versi Film Si Pitung Banteng Betawi (1971) dikhianati oleh Somad yang memberi tahukan kelemahan Pitung untuk mengambil “jimatnya”. Kisah lainnya menyatakan bahwa Pitung telah diambil “Jimat Keris”-nya sehingga kesaktiannya menjadi lemah. Versi lainnya mengatakan bahwa kesaktian Pitung hilang setelah dipotong rambut, dan juga versi lain mengatakan bahwa kesaktiannya hilang karena sesorang melemparkan telur. Akhirnya Pitung meninggal karena luka tembak Hinne (Berdasarkan versi Film Si Pitung, Pitung mati tertembak karena peluru emas). Sesudah Si Pitung meninggal, makamnya dijaga oleh tentara karena percaya bahwa Si Pitung akan bangkit dari kubur hal ini tersirat dari Rancak Si Pitung dalam Van Till (1996).

Konon kabarnya, kepala Si Pitung dikubur di sebuah makam di daerah Pal 7, tepatnya disamping pintu gerbang kantor STO Telkom Palmerah Kemandoran. Sedangkan tubuhnya dimakamkan di wilayah Depok Sawangan, ada pula yang menyebut bahwa Si Pitung dimakamkan di hutan Jatijajar Tapos Depok, saat ini makam si Pitung menjadi kompleks kantor arsip Kehutanan, hal berkaitan erat dengan K Heine sebagai ahli pertanian. Menurut sahibul hikayat, karena memegang Ilmu Rawarontek, Si Pitung setelah ditembak mati dan dikubur ternyata hidup kembali kemudian ditembak lagi dan lalu ditebas kepalanya lalu dipisahkan kuburnya, sehingga Si Pitung tidak hidup lagi karena jasadnya telah terpisah jauh dari kepalanya. Demikianlah sehingga tahun matinya ada dua, yakni tahun 1893 dan tahun 1903. Wallahu a'lam bishawab...

Rumah tradisional Betawi

Rumah tradisional Betawi memperlihatkan pengaruh arsitektur luar, seperti Eropa, Cina, dan Arab. Hal ini terlihat dari bentuk pintu, jendela, lubang angin, dan ornamen lain.
Kendati demikian, bentuk arsitektur lokal juga tidak ditinggalkan, salah satunya adalah bentuk rumah panggung atau rumah bukan panggung yang lantainya dibuat lebih tinggi dari tanah.
Di sisi lain, tata ruang rumah Betawi juga mirip dengan rumah modern, yakni memiliki ruang publik, ruang privat, dan area servis. Dalam rumah Betawi, kawasan publik berada di teras depan (disebut amben); ruang pribadi ada di tengah, dimana di dalamnya terdapat kamar (disebut pangkeng); sementara ruang servis atau dapur disebut srondoyan.
Rumah Betawi memiliki struktur rangka dari kayu atau bambu, namun seiring perkembangan zaman, rumah Betawi kini banyak dibangun dengan dinding tembok. Demikian pula dengan lantai rumah, dulu hanya beralas tanah, tetapi kemudian berkembang dengan menggunakan plesteran semen atau tegel, hingga lantai keramik.

Ada pula konstruksi tangga yang dinamakan balaksuji. Namun, saat ini balaksuji sudah jarang digunakan di rumah Betawi bukan panggung.
Ciri khas rumah Betawi bisa dilihat dari bentuk lisplang yang diberi ornamen ‘gigi balang’, yakni papan kayu yang dibentuk dengan ornamen segitiga berjajar.
Bagian depan rumah memiliki teras terbuka yang dikelilingi pagar rendah terbuat dari  kayu. Di sinilah, biasanya pemilik rumah menjamu tamu yang datang bertandang.
Dinding bagian depan rumah biasanya bisa dibongkar-pasang (knockdown) yang memberikan ruang lebih luas, terutama jika pemilik rumah sedang menyelenggarakan hajatan.
Bagian tengah rumah yang digunakan untuk kamar tidur, ruang makan, dapur, dan kamar mandi, masing-masing dibatasi dinding kayu tertutup dan beberapa jendela untuk ventilasi udara. Umumnya, pintu dan jendela menggunakan bilah-bilah papan (disebut jalusi atau krepyak) yang bisa memperlancar sirkulasi udara didalam ruangan.

Sejarah Kota JAKARTA


Dalam rangka mengenal lebih jauh tentang kota Jakarta, saya akan menulis tentang sejarah lahirnya kota Jakarta sampai umurnya yang kesekian ini. Mudah-mudahan adek-adek yang sedang mencari tau tentang sejarah kota Jakarta bisa terbantu dengan tulisan yang saya ambil dari wikipedia ini. Jakarta pertama kali dikenal sebagai salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda yang berlokasi di muara Sungai Ciliwung. Ibukota Kerajaan Sunda yang dikenal sebagai Dayeuh Pakuan Pajajaran atau Pajajaran (sekarang Bogor) dapat ditempuh dari pelabuhan Sunda Kalapa selama dua hari perjalanan. Menurut sumber Portugis, Sunda Kalapa merupakan salah satu pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda selain pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara dan Cimanuk. Sunda Kalapa yang dalam teks ini disebut Kalapa dianggap pelabuhan yang terpenting karena dapat ditempuh dari ibu kota kerajaan yang disebut dengan nama Dayo (dalam bahasa Sunda modern: dayeuh yang berarti ibu kota) dalam tempo dua hari. Kerajaan Sunda sendiri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanagara pada abad ke-5 sehingga pelabuhan ini diperkirakan telah ada sejak abad ke-5 dan diperkirakan merupakan ibukota Tarumanagara yang disebut Sundapura.
Pada abad ke-12, pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk. Kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi komoditas dagang saat itu.

Orang Eropa pertama yang datang ke Jakarta adalah orang Portugis. Pada abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda meminta bantuan Portugis yang ada di Malaka untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa sebagai perlindungan dari kemungkinan serangan Cirebon yang akan memisahkan diri dari Kerajaan Sunda. Upaya permintaan bantuan Surawisesa kepada Portugis di Malaka tersebut diabadikan oleh orang Sunda dalam cerita pantun seloka Mundinglaya Dikusumah di mana Surawisesa diselokakan dengan nama gelarnya yaitu Mundinglaya. Namun sebelum pendirian benteng tersebut terlaksana, Cirebon yang dibantu Demak langsung menyerang pelabuhan tersebut. Orang Sunda menyebut peristiwa ini tragedi karena penyerangan tersebut membungihanguskan kota pelabuhan tersebut dan membunuh banyak rakyat Sunda disana termasuk sahbandar pelabuhan. Penetapan hari jadi Jakarta tanggal 22 Juni adalah berdasarkan tragedi penaklukan pelabuhan Sunda Kalapa oleh Fatahillah pada tahun 1527 dan mengganti nama kota tersebut menjadi Jayakarta yang berarti “kemenangan”.
Orang Belanda datang ke Jayakarta sekitar akhir abad ke-16, setelah singgah di Banten pada tahun 1596. Pada 1619, VOC dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen menaklukan Jayakarta dan kemudian mengubah namanya menjadi Batavia. Selama kolonialisasi Belanda, Batavia berkembang menjadi kota yang besar dan penting. Untuk pembangunan kota, Belanda banyak mengimpor budak-budak sebagai pekerja. Kebanyakan dari mereka berasal dari Bali, Sulawesi, Maluku, Republik Rakyat Cina, dan pesisir Malabar, India. Mereka inilah yang kemudian membentuk komunitas orang Jakarta atau dikenal dengan orang Betawi.

Pada tanggal 9 Oktober 1740, terjadi kerusuhan di Batavia dengan terbunuhnya 5.000 orang Tionghoa. Dengan terjadinya kerusuhan ini, banyak orang Tionghoa yang lari keluar kota dan melakukan perlawanan terhadap Belanda. Dengan selesainya Koningsplein (Gambir) pada tahun 1818, Batavia berkembang ke arah selatan. Tahun 1910, Belanda membangun kota taman Menteng, dan wilayah ini menjadi tempat baru bagi petinggi Belanda menggantikan Molenvliet di utara. Di awal abad ke-20, Batavia di utara, Koningspein, dan Mester Cornelis (Jatinegara) telah terintegrasi menjadi sebuah kota.

Penjajahan oleh Jepang dimulai pada tahun 1942 dan mengganti nama Batavia menjadi Jakarta untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II. Kota ini juga merupakan tempat dilangsungkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan diduduki Belanda sampai pengakuan kedaulatan tahun 1949.

Untuk pembangunan kota, Belanda banyak mengimpor budak-budak sebagai pekerja. Kebanyakan dari mereka berasal dari Bali, Sulawesi, Maluku, Republik Rakyat Cina, dan pesisir Malabar, India. Mereka inilah yang kemudian membentuk komunitas orang Jakarta atau dikenal dengan orang Betawi.

Pada tanggal 9 Oktober 1740, terjadi kerusuhan di Batavia dengan terbunuhnya 5.000 orang Tionghoa. Dengan terjadinya kerusuhan ini, banyak orang Tionghoa yang lari keluar kota dan melakukan perlawanan terhadap Belanda. Dengan selesainya Koningsplein (Gambir) pada tahun 1818, Batavia berkembang ke arah selatan. Tahun 1910, Belanda membangun kota taman Menteng, dan wilayah ini menjadi tempat baru bagi petinggi Belanda menggantikan Molenvliet di utara. Di awal abad ke-20, Batavia di utara, Koningspein, dan Mester Cornelis (Jatinegara) telah terintegrasi menjadi sebuah kota.

Penjajahan oleh Jepang dimulai pada tahun 1942 dan mengganti nama Batavia menjadi Jakarta untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II. Kota ini juga merupakan tempat dilangsungkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan diduduki Belanda sampai pengakuan kedaulatan tahun 1949.
sumber : http://www.rezafauzi.com/2009/06/sejarah-kota-jakarta.html
sumber gambar : Google